Featured Video

Minggu, 03 April 2011

Nikah Mut'ah 1


Pengertian Nikah Mut’ah
Asal kata mut’ah ialah sesuatu yang diinikmati atau diberikan untuk dinikmati. Misalnya benda yang diberikan sebagai ganti rugi kepada istri yang telah diceraikan .
Perkawinan mut’ah adalah ikatan tali perkawinan antara seorang lelaki dan wanita dengan mahar yang telah disepakati, yang disebut dalam akad, samapi pada batas waktu yang telah ditentukan. Dengan berlalunya waktu yang telah diepakati, atua pengurangan batas waktu yang diberikan oleh laki-laki, maka berakhirlah ikatan pernikahan tersebut tanpa memelukan proses perceraian . Bertrand Russel filosof Inggris yang terkenal itu, dalam bukunya marriage and morals, menulis
“Selam kesucian wanita yang terhornat dipandang amat penting, lembaga perkawinan haruslah dibantu dengan suatu lembaga lain yang sesungguhnya dapat dipandang sebagai bagian dari lembaga perkawinan itu (lembaga pelacuran), setiap orang mengetahui penggalan dari mana Lecky berbicara tentang pelacur sebagai pengawal kesucian rumah tangga dan kesucian para istri dan putrinya, sentimen ini adalah sentimen zaman Victoria, dan cara pengungkapannya juga kuno, namun kenyataannya tidak dapat disangkal. Para moralis telah menyangkal lecky, karena pernyataannya itu membuat mereka menjadi berang dan mereka tidak tahu mengapa mereka barus marah, tetapi mereka tidak mampu menunjukkan bahwa apa yang dikatakannya itu tidak benar. Si moralis mengatakan, tentu saja dengan benar, bahwa apabila kaum pria mengikuti ajaranny, maka tidak akanapa pelacauran, tetapi ia tahu bahwa mereka tidak akan mengikutinya, karena itu pertimbangan tentang apa yang akan terjadi apabila mereka mengikutinya sangat tidak relevan ”. Sejarah singkat Nikah Mut’ah
Tidak begitu jelas tentang sejarah atau asal pertama kalinya Nikah Mut’ah, tetapi dalam hadis shahih muslim, dalam kitab Shahih-nya juz I, halaman 535, bab “Nikah Mut’ah”, merawikan bahwa ‘Atha berkata: Jabir bin Abdullah tiba di kota Makkah guna menunaikan ibadah ‘umrah. Maka kami mendatanginya di tempat ia menginap. Beberapa orang dari kamu bertanya tentang berbagai hal samapi akhirnya mereka menanyainya tentang mut’ah. Ia menjawab: “Ya, memang kami pernah melakukannya di masa hidup Rasulullah saw, dan di masa Abu Bakar dan Umar.” . Dalam penjelasan itu bisa kita ketahui bahwa nikah mut’ah itu sudah ada pada zaman Rasulullah dan beliau pun tidak pernah mengharamkannya Karena tidak ada dalil Al-Quran maupun hadist yang mengharamkan nikah mut’ah, berbeda dengan pernikahan permanen, pernikahan itu merupakan sesuatu yang wajib dan harus dilaksanakan apabila telah memenuhi syarat-syarat nya.
Muslim telah meriwayatkan dalam kitab shahih-nya, juz I, halaman 467, bab”Mut’ah Haji dan Umrah” dengan sanad yang bersambung kepada Abu Nadhar; ia berkata: Ibn Abbas membolehkan mut’ah sedang Ibn Az-Zubair melarangnya. Maka aku samapaikan hal ini kepada Jabir, lalu ia berkata: “aku lebih mengetahui tentang hal ini. Kami biasa melakukan mut’ah ketika kami bersama Rasulullah, tapi ketika Umar berkuasa, ia berkata: “sesungguhnya Allah SWT menghalakan bagi Rasul-Nya segala yang diingini-Nya dengan cara yang diingini-Nya. Maka sempurnakanlah haji dan umrah dan teruskanlah pernikahanmu dengan wanita-wanita (yakni nikah tanpa batas waktu). Awas, jika dihadapkan kepadaku seorang laki-laki yang menikahi wanita sampai bats waktu tertentu, niscaya aku akan merajamnya dengan batu-batu.”

Tujuan Nikah Mut’ah
Motivasi atau tujuan seorang dalam melakukan nikah dengan berbagai macam keragamannya, tidak dilarang oleh islam, asalkan saat melakukannya dengan cara yang benar, sebagaimanapun telah diajarkan dalam banyak buku-buku fiqih.
Ada yang melakukannya karena cinta, ada yang hanya ingin terjalin hubungan mahromiyah, ada yang berkeinginan karena iba dengan nasib yang dideritanya, ada yang hendak menjaga dirinya dari keharaman, ada yang berkeinginan untuk mendapatkan keturunan, ada juga yang tidak berkeinginan sama sekali, karena anak adalah beban yang menyusahkan, ada yang nikah hanya mengaharapkan bimbingan spiritualnya, ada yang hanya karena kebutuhan biologisnya dan ada juga yang hanya membutuhkan uang mas kawinnya dan lainnya. Sebaliknya ada juga yang menganggap bahwa nikah adalah penghalang kebebasan berbisnis, karena hubungan suami istri (dalam nikah permanen) dengan segala aturannya mengikat banyak kaum wanita di rumah, dan masih banyk lahi alasan untuk tidak melakukan nikah permanen karena faktor-faktor lain.
Sedang kebutuhan biologis baik pada wanita atau pria tetap meronta-ronta terutama pada duda, janda, dan mereka yang memiliki kelainan sex secara genetic, islam secara umum tidak melarang keinginan nikah dengan tujuan-tujuan tersebut, sebagai bukti tidak ada satu ayatpun yang melarang motifasi-motifasi tersebut, bahkan islam memberikan jalan yang halal dan mudah untuk dilakukan oleh semua lapisan masyarakat. Jalan keluar tersebut apalagi kalau bukan nikah mut’ah. Atau penyimpangan-penyimpangan seksual sebagaimana disebutkan diatas, yang sudah jelas ‘moral’ binatangpun tidak melakukannya, harus dibiarkan terjadi!. Kalau itu yang dikehendaki, maka tunggulah adzab dan siksa Allah swt akan terjadi, karena mereka telah meninggalkan bukan saja agama tetapi fitrah mereka sendiri yang semestiny menjadi tolak uur sebuah kebenaran diri setiap manusia.
Kalau semua yang dijelaskan diatas timbul anggapan memudahkan dan hanya mementingkan kebutuhan sex, yang dapat merendahkan moralitas seseorang, maka harus difahami bahwa pelanggaran terhadap syariat agama 50% terjadi pada aturan-aturan biologis dan untuknya islam mempermudah nikah dengan konsep mut’ahnya, yang dengan sendiriny apabila aturan-aturan al Quran dipatuhi terutama dalam urusan biologis, berati dia secara langsung telah meningkatkan moralitasnya, karena pelanggaran yang paling banyak menyita aturan moral manusia baik dalam bentuk zina maupun lainnya sudah dapat dihindari, sebagaimana disebut dalam ayat berikut: “Janganlah kalian medekati zina, sesungguhnya zina adalah keburukan dan sikap yang salah” (Al-Isro:32)
Amini Ibrahim dalam bukunya Principles of Marriage Family Ethics menulis tentang tujuan dari nikah itu sendiri
1. Keluarga sangat penting karena disanalah kita bisa menemukan keamanan, kenyamanan, dan kedamaian. Seseorang yang belum menikah seperti burung tanpa sangkar. Pernikahan seperti menyediakan perlindungan buat setiap orang yang merasa tersesat dalam hutan belantara dalam hidupnya, orang bisa mencari pasangan dalam hidupnya yang akan berbagi dalam kesenangan dan dukacita nya.
2. Hasrat alami seksual yang sangat kuat dan penting. Setiap orang seharusnya mempunyai pasangan untuk memuaskan kebutuhan seksual mereka dalam keamanan dan ketenangan sekitarnya. Setiap orang seharusnya menikmati kepuasan seksualnya dengan benar dan sopan. Mereka yang tidak mau menikah akan sering menderita fisiknya maupun kekacauan psikologinya.
3. Reproduksi atau keturunan. Dalam pernikahan kita akan menjadi pemimpin bagi anak-anak kita. Anak-anak merupakan hasil dari pernikahan dan faktor yang sangat penting dalam menstabilisasikan fondasi keluarga dengan baik dan merupakan sumber kebahagiaan yang nyata untuk orang tua mereka .
Tujuan nikah mut’ah juga adalah untuk menjaga kebebasan seks dimanapun dan dapat dijadikan solusi prostitusi, karena dalam islam tidak mengizinkan asketisisme dan pengorbanan kebutuhan fisik yang alami dan naluriah, tapi juga tidak mengizinkan keserbabebasan seks. Menurut islam, segala naluri, seksual atau bukan , harus dipenuhi dalam batas-batas kebutuhan dan pengalaman. Islam tidak memperkenankan seseorang untuk meningakatkan nafsu-nafsu instinktifnya pada suatu keadaan haus yang tak terpuaskan. Maka, apabila sesuatu telah mengambil corak promiskuitas, kekejaman, dan kezaliman, cukuplah untuk mengutuk sebagai bertentangan dengan jiwa islam. Tetapi tidaklah dapat disangkal bahwa motif dari pemberi Hukum bukanlah untuk menjadikan perkawinan mut’ah sebagai sumber promiskuitas, sebagai alasan untuk mendirikan harem bagi para pengumbar hawa nafsu syahwat, dan sebagai sebab bencana dan kesengsaraan wanita dan anak-anak.

sumber bacaan

Al-Musawi, S. 2002. Isu-isu Penting Ikhtilaf. Bandung: Mizan.

Al-Amili, Jafar. M. 2002. Nikah Mut’ah Dalam Islam. Surakarta: Yay. Abna Al Husain.

Amini, Ibrahim. 2006. Principles of Marriage Family Ethics. Qum: Ansyariyan Publication.

0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites