Featured Video

Jumat, 08 April 2011

Muhammad Rasyid Ridha


Beliau lahir di Kalamun, suatu desa yang terletak tidak jauh dari kota di Poli Lebanon, Suriah pada tanggal 27 Jumadil Ula 1282 H atau Oktober 1865 M. ia hidup dalam keluarga dan lingkungan yang mengutamakan ilmu pengetahuan. Selain belajar dengan orang tuanya sendiri, Ia juga belajar dengan beberapa orang guru. Dia pernah masuk thariqat sufi selama beberapa tahun tapi Karena beliau tidak merasakan seperti orang sufi lainnya, akhirnya beliau mulai mencari tahu jawabannya dengan belajar ilmu ushuluddin, setelah belajar ushuluddin akhirnya beliau tahu kenapa dia tidak bisa tergerak hatinya dalam thariqat yang dia ikutin sebelumnya, dia menganggap bahwasanya itu adalah bid’ah, tidak di ajarkan pada masa rasulullah. Beliau menolak ajaran-ajaran sufi (thariqat) yang menurutnya dianggap sebagai bid’ah, dengan alasan orang-orang sufi itu tidak pernah peduli terhadap lingkungan sekitarnya melainkan memikirkan dirinya sendiri dan menganggap tentang tidak pentingnya hidup di dunia. Setelah keluar dari thariqat sufi, beliau mulai suka membaca buku-bukunya Ibn. Taymiah dan Muhammad bin Abdul Wahab, disanalah beliau menemukan pencerahan dan tertarik untuk memperdalam ilmunya, beliau masuk kepada ajaran-ajaran salafiyah. Beliau belajar banyak tentang pemikiran tokoh sebelumnya seperti Jamaludin al-afghani dan gurunya Muhammad Abduh terutama oleh majalah al-urwatul wutsqa.

Bersama dengan Muhammad Abduh, beliau membuat majalah Al-Manar. Mereka berdua mengisi majalah itu dengan berbagai hal, seperti masalah-masalah social, budaya, agama dan juga tafsir alquran , yang kemudian tafsir itu dikenal sebagai tafsir al-manar. Namun sayang, tafsir itu tidak sampai beres Cuma sampai surat an-nisa ayat 136 dalam pelaksanaannya, karena Muhammad Abduh telah meninggal. Selebihnya rasyid ridho meneruskan perjalanan Muhammad Abduh dalam menafsirkan alquran. Selain itu, ide pembaharuan yang telah dituangkan oleh rasyid ridha ini meliputi bidang agama, pendidikan, dan politik. Beliau berpendapat bahwa factor utama yang menyebabkan Umat Islam lemah, dan mengalami keterpurukan adalah karena sudah tidak ada laginya yang mengamalkan ajaran islam yang murni atau kaffah, menurutnya islam yang sekarang sudah tercampur dengan sesuatu yang tidak ada dan tidak pernah Rasulullah ajarkan sebelumnya seperti bid’ah, itu dilihat dari orang-orang sufi dan juga thariqat-thariqat yang mengajarkan bahwasanya dunia ini tidaklah penting, sehingga mereka hanya sibuk akan dirinya masing-masing dalam Ibadahnya kepada Allah.

Dalam bidang pendidikan, Rasyid ridha sangat antusias sekali dalam mengembangkan keilmuan bagi kaum muslim, bahwasanya Pendidikan lah yang paling diantara semuanya, beliau mengatakan membangun sarana pendidikan lebih baik daripada membangun mesjid, menurut beliau masjid itu tidak akan besar nilainya jika yang mengisinya adalah orang-orang bodoh tanpa ilmu. Namun, dengan membangun sarana prasarana pendidikan dapat menghahpuskan kebodohan. Dengan begitu pekerjaan duniawi dan ukhrawi akan menjadi baik. Dan untuk merealisasikan pemikirannya tersebut beliau mendirikan sekolah “Misi Islam” dengan nama “al-Dawlah wa-al Irsyad” di Raudat Kairo.

Dalam bidang politik, beliau ingin menyatukan umat islam dengan mengjarkan syari’at islam yang murni yang tidak tercampuri oleh bid’ah, umat islam harus dihimpun dalam kesatuan bangsa, agama, hokum, persaudaraan, kewarganegaraan, peradilan dan bahasa. Dan kesatuan disini adalah kesatuan atas dasar keyakinan yang sama. Karena menurut beliau salah satu penyebab kemunduran umat islam adalah perpecahan yang terjadi di antara umat islam itu sendiri. Beliau mengatakan bahwasanya sebuah Negara itu harus dipimpin oleh seorang khalifah (pemimpin) yang menjadi teladan bagi semuanya, itu di bisa dilihat pada masa khulafauurasyidin. Bisa dikatakan bahwa pemikiran-pemikiran Rasyid Ridha ini meliputi bidang Agama, Pendidikan, dan Politik. Namun, beliau lebih memfokuskan kepada masalah pendidikannya, karena menurutnya, pendidikan menjadi dasar atau modal utama bagi kemajuan Islam kedepannya.

Senin, 04 April 2011

Nikah Mut'ah II


HUKUM NIKAH MUT’AH DALAM HUKUM ISLAM

Dalil-dalil tentang Nikah Mut’ah
Telah disepakati oleh setiap orang yang mengaku dirinya muslim bahwa Allah SWT telah menetapkan perkawinan mut’ah tersebut dalam syariat islam. Tidak seorang pun dari kalangan ulama mazhab yang meragukan hal itu, meskipun banyak yang terjadi perselisihan pendapat. Bahkan penetapannya dalam Al-Quran tergolong suatu keputusan yang tidak dapat ditawar lagi. Adapun ayat yang berkaitan dengan nikah mut’ah adalah firman Allah SWT: “….. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati, di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban….(An-Nisa:24) .
Al-Qurtubhi, Al-Syaukani dan orang yang sependapat denganya mengatakan bahwa hampir semua ulama menafsirkan ayat tersebut dengan nikah mut’ah yang sudah ditetapan sejak awal permulaan islam.
Imran ibn. Al-Hushain berkata, “Ayat tersebut diturunkan untuk menetapkan perkawinan mut’ah dan tidak dinasakh”.
Abdur Razzaq dalam bukunya Al-Mukatabat, menyebutkan bahwa Atha’ berkata, “Yang terdapat dalam surah An-Nisa yang menjelaskan tentang adanya batas waktu dalam perkawinan, ialah perkawinan mut’ah.
Tidak hanya dalam Al-Quran saja dalil yang menghalalkan nikah mut’ah tapi dalam hadis Rasul yang telah diriwayatkan oleh para sahabatnya. Muslim dalam Shahih nya, juz 1, bab “Perkawinan”, pada pasal “Nikah Mut’ah”, telah merawikan sebuah hadis dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin Akwa, bahwa mereka berkata: “Seorang yang ditugasi oleh Rasulullah muncul dihadapan kami seraya berseru: Sesungguhnya Rasulullah saw, telah mengizinkan kalian untuk ber mut’ah (yakni nikah mut’ah) .

Nikah Mut’ah Halal
Banyak orang yang mengkritik dan mengatakan bahwa nikah mut’ah itu haram hukumnya, tetapi mereka bertentangan dengan dalil yang telah disebutkan dalam Al-Quran dan alasan mereka juga tidak bisa diterima oleh semua orang karena bertolak belakang dengan Al-Quran dan hadis dan mereka juga berpendapat bahwa ayat yang dalam Al-Quran mengenai nikah mut’ah itu telah dinaskh (dicabut).
Tidak ada dalam versi Quran manapun mencabut tentang dalil pernikahan mut’ah pada bagian surat An-Nisa ayat 24 maupun dari ayat yang lain bahkan hadis sekalipun. Penulis dari Jami’ul Usul bag.12 halaman 135. Jabir bin Abdullah mengutip dalam Sahih muslim dan berkata “ kita melakukan nikah mut’ah semenjak zaman Rasulullah dan pada masa Abu Bakar sampai Umar melarang nikah mut’ah karena masalah Amr bin Hurayth” . Dalam kutipan tersebut tidak ada yang mengharamkan nikah mut’ah kecuali Umar, dan keputusan Umar itu tidak bisa diterima Karena itu merupakan ijtihadnya dan bukan berdasarkan pada Al-Quran.
Banyak orang meraba-raba dan menduga tentang apa yang menyebabkan Umar mengharamkan nikah mut’ah, sebagian orang menduga bahwa penyebabnya ialah simpang-siurnya riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang halal-haramnya nikaah tersebut, sebagaimana yang telah lewat. Sebagian lain mengatakan penyebabnya ialah berulang-ulangnya penyalahgunaan, akhirnya kita dapati di satu sisi diintensifkannya pencegahan, tetapi disisi lain penetapan halalnya terhadap nikah tersebut terus berlanjut, baik berupa pembicaraan maupun pelaksanaan. Ibn Hazm dan Al-Baquri berpendapat bahwa penyebab beliau mengharamkan nikah tersebut ialah karena beliau melihat banyak orang terlalu berlebihan dalam melakukan nikah tersebut. Tapi itu tidak bisa menghapuskan hukum yang sebenarnya tentang nikah mut’ah bahwa nikah tersebut haram, tapi hukum nya ialah halal. Nikah Mut’ah adalah salah satu jenis nikah yang dihalalkan oleh Allah swt.

Nikah Mut’ah dapat dijadikan sebagai solusi prostitusi
Pada prinsipnya agama sejak sedia kala memang diciptakan sebagai solusi setiap problema yang dihadapi oleh penganutnya, sebagai contohnya problema ekonomi, sebenarnya dapat diselesaikan dengan banyak cara yang di Ridhoi Allah swt, terutama dikalangan anak muda, bukan hanya dengan melemparkan diri ke jurang keharaman, sebagaimana yang kita dapati selama ini, alasan mereka hanyalah ekonomi yang menjerumuskan mereka ke jurang keharaman. Padahal sebenarnya batin merek tetap menolak atas apa yang mereka lakukan selama ini, tetapi apabila dilihat dari faktor kesulitan untuk melakukan nikah, baik karena tradisi atau lainnya, memang terjadi, sedang kebutuhan biologis terus melonjak sampai pada batas yang tidak dapat dibendung lagi, juga sebagai alasan yang dapat diakui sebagai penyebab lain karena mereka melemparkan diri ke jurang keharaman, lalu siapa yang menanggung dosa yang mereka lakukan?
Nikah mut’ah dapat dijadikan sebagai solusi wanita yang hendak menyewakan rahimnya, untuk sepasang mempelai yang enggan untuk hamil, karena kesibukan kerja yang sedang mereka lakukan, sedang untuk mengadopsi anak mereka terbentur hukum mahromiyah, disamping anak yang mereka ambil bukanlah keturunannya, berbeda halnya kasus bayi tabung dari benih sepasang suami istri, kemudian keduanya menyewa rahim dengan jalan mut’ah terlebih dahulu, anak yang lahir adalah anak mereka bertiga, dan hubungan mahromiyah pasti terjadi. Dan masih banyak lagi problema-problema yang hanya dapat diselesaikan dengan nikah mut’ah .

Nikah Mut’ah di anggap Asing
Dari apa yang telah kita kemukakan, kita dapat mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa perkawinan semacam ini layak kita jadikan sebagai salah satu kebanggaan dalam syariat islam dan salah satu tanda keagungan serta kesempurnaan syariat islam dalam segala bidang. Sebenarnya, satu-satunya kejelekan perkawinan mut’ah yang selalu diucapkan oleh orang-orang yaitu bahwa konsep ini lahir dan tumbuh dari Timur. Oleh karena itu tidak perlu dipuja dan dicintai. Ia hanya patut dicemooh dan dihina. Terlebih lagi “Kenapa yang dapat menyelesaikan problema ini datangnya dari islam bukan dari selain islam”. Tetapi kalau konsep tersebut tidak terlahir dari bumi Timur ini, terutama dari Eropa, niscaya kita akan memiliki sikap berbeda dari apa yang ada sekarang. Tidak menutup kemungkinan bahwa pada satu saat, karena merebaknya perzinahan, kita terpaksa dengan susah payah dengan menggunakan berbagai macam sarana informasi, untuk mempertahankan kebenaran nikah permanen agar dapat diterima dan mau melakukannya .
Perusakan masyarakat lewat penyelewengan seks itu saja sudah sangat berbahaya bagi tatanan hidup sampai keturunan-keturunannya. Masih pula perusakan akidah dengan melecehkan Nabi Muhammad saw, para sahabat dan yang lainnya . Nikah mut’ah dianggap sesuatu yang negative oleh orang lain, karena mereka hanya sedikit membuka pikiran mereka tentang apa-apa yang masuk kedalam pikiran mereka, dan mereka hanya menerima nya tanpa mereka gali lebih jauh lagi tentang permasalahan itu. Sehingga mereka menganggap, seperi kasus nikah mut’ah ini merupakan sesuatu yang berbahaya bagi masyarakat dan itu merupakan perbuatan tercela dan kotor. Tapi itulah anggapan mereka yang tidak tahu tentang apa-apa dan tidak mau mencari kebenaran yang sebenarnya dan mereka sangat mudah untuk mengkritik orang lain.

Sumber bacaan
Al-Musawi, S. 2002. Isu-isu Penting Ikhtilaf. Bandung: Mizan.
Jaiz, Hartono, Ahmad. 2002. Aliran dan Paham Sesat di Indonesia.
Al-Amili, Jafar. M. 2002. Nikah Mut’ah Dalam Islam. Surakarta: Yay. Abna Al Husain.
At-Tabrizi, Abu Thalib. Spurios Arguments About The Shia. Qum: Ansyariyan Publication.
Amini, Ibrahim. 2006. Principles of Marriage Family Ethics. Qum: Ansyariyan Publication.

Minggu, 03 April 2011

Nikah Mut'ah 1


Pengertian Nikah Mut’ah
Asal kata mut’ah ialah sesuatu yang diinikmati atau diberikan untuk dinikmati. Misalnya benda yang diberikan sebagai ganti rugi kepada istri yang telah diceraikan .
Perkawinan mut’ah adalah ikatan tali perkawinan antara seorang lelaki dan wanita dengan mahar yang telah disepakati, yang disebut dalam akad, samapi pada batas waktu yang telah ditentukan. Dengan berlalunya waktu yang telah diepakati, atua pengurangan batas waktu yang diberikan oleh laki-laki, maka berakhirlah ikatan pernikahan tersebut tanpa memelukan proses perceraian . Bertrand Russel filosof Inggris yang terkenal itu, dalam bukunya marriage and morals, menulis
“Selam kesucian wanita yang terhornat dipandang amat penting, lembaga perkawinan haruslah dibantu dengan suatu lembaga lain yang sesungguhnya dapat dipandang sebagai bagian dari lembaga perkawinan itu (lembaga pelacuran), setiap orang mengetahui penggalan dari mana Lecky berbicara tentang pelacur sebagai pengawal kesucian rumah tangga dan kesucian para istri dan putrinya, sentimen ini adalah sentimen zaman Victoria, dan cara pengungkapannya juga kuno, namun kenyataannya tidak dapat disangkal. Para moralis telah menyangkal lecky, karena pernyataannya itu membuat mereka menjadi berang dan mereka tidak tahu mengapa mereka barus marah, tetapi mereka tidak mampu menunjukkan bahwa apa yang dikatakannya itu tidak benar. Si moralis mengatakan, tentu saja dengan benar, bahwa apabila kaum pria mengikuti ajaranny, maka tidak akanapa pelacauran, tetapi ia tahu bahwa mereka tidak akan mengikutinya, karena itu pertimbangan tentang apa yang akan terjadi apabila mereka mengikutinya sangat tidak relevan ”. Sejarah singkat Nikah Mut’ah
Tidak begitu jelas tentang sejarah atau asal pertama kalinya Nikah Mut’ah, tetapi dalam hadis shahih muslim, dalam kitab Shahih-nya juz I, halaman 535, bab “Nikah Mut’ah”, merawikan bahwa ‘Atha berkata: Jabir bin Abdullah tiba di kota Makkah guna menunaikan ibadah ‘umrah. Maka kami mendatanginya di tempat ia menginap. Beberapa orang dari kamu bertanya tentang berbagai hal samapi akhirnya mereka menanyainya tentang mut’ah. Ia menjawab: “Ya, memang kami pernah melakukannya di masa hidup Rasulullah saw, dan di masa Abu Bakar dan Umar.” . Dalam penjelasan itu bisa kita ketahui bahwa nikah mut’ah itu sudah ada pada zaman Rasulullah dan beliau pun tidak pernah mengharamkannya Karena tidak ada dalil Al-Quran maupun hadist yang mengharamkan nikah mut’ah, berbeda dengan pernikahan permanen, pernikahan itu merupakan sesuatu yang wajib dan harus dilaksanakan apabila telah memenuhi syarat-syarat nya.
Muslim telah meriwayatkan dalam kitab shahih-nya, juz I, halaman 467, bab”Mut’ah Haji dan Umrah” dengan sanad yang bersambung kepada Abu Nadhar; ia berkata: Ibn Abbas membolehkan mut’ah sedang Ibn Az-Zubair melarangnya. Maka aku samapaikan hal ini kepada Jabir, lalu ia berkata: “aku lebih mengetahui tentang hal ini. Kami biasa melakukan mut’ah ketika kami bersama Rasulullah, tapi ketika Umar berkuasa, ia berkata: “sesungguhnya Allah SWT menghalakan bagi Rasul-Nya segala yang diingini-Nya dengan cara yang diingini-Nya. Maka sempurnakanlah haji dan umrah dan teruskanlah pernikahanmu dengan wanita-wanita (yakni nikah tanpa batas waktu). Awas, jika dihadapkan kepadaku seorang laki-laki yang menikahi wanita sampai bats waktu tertentu, niscaya aku akan merajamnya dengan batu-batu.”

Tujuan Nikah Mut’ah
Motivasi atau tujuan seorang dalam melakukan nikah dengan berbagai macam keragamannya, tidak dilarang oleh islam, asalkan saat melakukannya dengan cara yang benar, sebagaimanapun telah diajarkan dalam banyak buku-buku fiqih.
Ada yang melakukannya karena cinta, ada yang hanya ingin terjalin hubungan mahromiyah, ada yang berkeinginan karena iba dengan nasib yang dideritanya, ada yang hendak menjaga dirinya dari keharaman, ada yang berkeinginan untuk mendapatkan keturunan, ada juga yang tidak berkeinginan sama sekali, karena anak adalah beban yang menyusahkan, ada yang nikah hanya mengaharapkan bimbingan spiritualnya, ada yang hanya karena kebutuhan biologisnya dan ada juga yang hanya membutuhkan uang mas kawinnya dan lainnya. Sebaliknya ada juga yang menganggap bahwa nikah adalah penghalang kebebasan berbisnis, karena hubungan suami istri (dalam nikah permanen) dengan segala aturannya mengikat banyak kaum wanita di rumah, dan masih banyk lahi alasan untuk tidak melakukan nikah permanen karena faktor-faktor lain.
Sedang kebutuhan biologis baik pada wanita atau pria tetap meronta-ronta terutama pada duda, janda, dan mereka yang memiliki kelainan sex secara genetic, islam secara umum tidak melarang keinginan nikah dengan tujuan-tujuan tersebut, sebagai bukti tidak ada satu ayatpun yang melarang motifasi-motifasi tersebut, bahkan islam memberikan jalan yang halal dan mudah untuk dilakukan oleh semua lapisan masyarakat. Jalan keluar tersebut apalagi kalau bukan nikah mut’ah. Atau penyimpangan-penyimpangan seksual sebagaimana disebutkan diatas, yang sudah jelas ‘moral’ binatangpun tidak melakukannya, harus dibiarkan terjadi!. Kalau itu yang dikehendaki, maka tunggulah adzab dan siksa Allah swt akan terjadi, karena mereka telah meninggalkan bukan saja agama tetapi fitrah mereka sendiri yang semestiny menjadi tolak uur sebuah kebenaran diri setiap manusia.
Kalau semua yang dijelaskan diatas timbul anggapan memudahkan dan hanya mementingkan kebutuhan sex, yang dapat merendahkan moralitas seseorang, maka harus difahami bahwa pelanggaran terhadap syariat agama 50% terjadi pada aturan-aturan biologis dan untuknya islam mempermudah nikah dengan konsep mut’ahnya, yang dengan sendiriny apabila aturan-aturan al Quran dipatuhi terutama dalam urusan biologis, berati dia secara langsung telah meningkatkan moralitasnya, karena pelanggaran yang paling banyak menyita aturan moral manusia baik dalam bentuk zina maupun lainnya sudah dapat dihindari, sebagaimana disebut dalam ayat berikut: “Janganlah kalian medekati zina, sesungguhnya zina adalah keburukan dan sikap yang salah” (Al-Isro:32)
Amini Ibrahim dalam bukunya Principles of Marriage Family Ethics menulis tentang tujuan dari nikah itu sendiri
1. Keluarga sangat penting karena disanalah kita bisa menemukan keamanan, kenyamanan, dan kedamaian. Seseorang yang belum menikah seperti burung tanpa sangkar. Pernikahan seperti menyediakan perlindungan buat setiap orang yang merasa tersesat dalam hutan belantara dalam hidupnya, orang bisa mencari pasangan dalam hidupnya yang akan berbagi dalam kesenangan dan dukacita nya.
2. Hasrat alami seksual yang sangat kuat dan penting. Setiap orang seharusnya mempunyai pasangan untuk memuaskan kebutuhan seksual mereka dalam keamanan dan ketenangan sekitarnya. Setiap orang seharusnya menikmati kepuasan seksualnya dengan benar dan sopan. Mereka yang tidak mau menikah akan sering menderita fisiknya maupun kekacauan psikologinya.
3. Reproduksi atau keturunan. Dalam pernikahan kita akan menjadi pemimpin bagi anak-anak kita. Anak-anak merupakan hasil dari pernikahan dan faktor yang sangat penting dalam menstabilisasikan fondasi keluarga dengan baik dan merupakan sumber kebahagiaan yang nyata untuk orang tua mereka .
Tujuan nikah mut’ah juga adalah untuk menjaga kebebasan seks dimanapun dan dapat dijadikan solusi prostitusi, karena dalam islam tidak mengizinkan asketisisme dan pengorbanan kebutuhan fisik yang alami dan naluriah, tapi juga tidak mengizinkan keserbabebasan seks. Menurut islam, segala naluri, seksual atau bukan , harus dipenuhi dalam batas-batas kebutuhan dan pengalaman. Islam tidak memperkenankan seseorang untuk meningakatkan nafsu-nafsu instinktifnya pada suatu keadaan haus yang tak terpuaskan. Maka, apabila sesuatu telah mengambil corak promiskuitas, kekejaman, dan kezaliman, cukuplah untuk mengutuk sebagai bertentangan dengan jiwa islam. Tetapi tidaklah dapat disangkal bahwa motif dari pemberi Hukum bukanlah untuk menjadikan perkawinan mut’ah sebagai sumber promiskuitas, sebagai alasan untuk mendirikan harem bagi para pengumbar hawa nafsu syahwat, dan sebagai sebab bencana dan kesengsaraan wanita dan anak-anak.

sumber bacaan

Al-Musawi, S. 2002. Isu-isu Penting Ikhtilaf. Bandung: Mizan.

Al-Amili, Jafar. M. 2002. Nikah Mut’ah Dalam Islam. Surakarta: Yay. Abna Al Husain.

Amini, Ibrahim. 2006. Principles of Marriage Family Ethics. Qum: Ansyariyan Publication.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites