Featured Video

Selasa, 29 Maret 2011

Sejarah Filsafat


Dulu kan gw udah bikin tulisan tentang “apa sii itu filsafat?” . Nah, sekarang gw mu nulis tentang sejarah filsafatnya, walaupun sebenernya gak ada yang tahu awal kemunculan filsafat itu sendiri, tapi ada beberapa pendapat yang lebih dominan terutama dalam bukunya Prof. K. Bertens yg berjudul “Ringkasan sejarah Filsafat” bahwa filsafat itu telah digunakan disebuah kota di Yunani tepatnya di Miletos. Berawal dari pemikiran tentang asal muasal alam semesta ini ada? Mereka mempertanyakan tentang asas dasar dari alam semesta ini, tokoh pertama ialah Thales, dia mengatakan bahwasanya asas pertama kemunculan alam semesta ini adalah “air” karena segala sesuatunya berasal dari air, seperti pohon tumbuh karena air dll. Setelah itu, Anaximandros berpendapat bahwa asas alam itu adalah sesuatu yang tak terbatas “apeiron” (A= tidak, Peiron=terbatas), kemudian ada juga tokoh-tokoh lainnya yang mengutarakan pemikirannya tentang asas dari alam semesta ini, seperti anaximenes, Heraklitos, Pyhtagoras yang sekarang pemikirannya masih dipake (dalil Pythagoras), Parmenides, demokritos, dll. Mereka semua saling berbeda pendapat dalam pengetahuan asas alam semesta ini, namun setelah itu akan hadir tokoh-tokoh setelah mereka yang bisa dikatakan menjadi penyatu atau titik tengah dari pemikiran-pemikiran filsuf sebelumnya karena pemikiran mereka yang lebih rasional, seperti Socrates, Plato, Aristoteles, dll. Karena tokoh-tokoh itulah Filsafat Yunani mencapai jaman Keemasannya.

Mungkin seperti itu gambaran dari sejarah awal kemunculan filsafat, dimana mereka saling membantah antara satu dengan yang lainnya. Namun selanjutnya filsafat terus berkembang dan tidak hanya dalam pemikiran alam semesta saja, tetapi akan lebih banyak lagi pertanyaan yg muncul seperti Eksistensi Tuhan?, Siapa kita?, Untuk apa kita hidup?, Adakah kehidupan setelah kita mati? dll. Mungkin itu semualah yang menjadi pertanyaan-pertanyaan yang biasanya dijadikan sebagai dasar sekaligus inti dari semua permasalahan para filosof sehingga akan muncul berbagai pemikiran dan teori (mazhab filsafat).

Jumat, 25 Maret 2011

Mal dan Budaya Konsumerisme


PENDAHULUAN

Ekonomi memang suatu hal yang tabu untuk dibicarakan dalam suatu negara, karena ekonomi merupakan faktor utama yang memberikan nama baik bagi suatu negara, apakah negara itu bagus atau tidak? Dengan mengutamakan kemajuan ekonomi suatu negara bisa memberikan yang terbaik bagi rakyatnya, rakyat tidak akan lagi kekurangan yang namanya masalah ekonomi jika negara bisa membangun perekonomian yang tinggi dan bisa menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya, tidak akan ada lagi rakyat yang menderita karena kelaparan, kemiskinan, maupun hal lainnya yang berdampak buruk dari kekurangan ekonomi seseorang. Namun, yang jadi permasalahan ialah bagaimana pemerintah melakukan sesuatu untuk meningkatkan status ekonomi bangsa kita ini. Apakah cara yang dilakukan pemerintah untuk mengembangkan ekonomi bangsa itu benar atau tidak? Apakah benar akan mengembangkan dan memajukan ekonomi yang ada di negara kita ini atau justru malah sebaliknya, cara yang di tempuh pemerintah akan menjadikan rakyat itu sengsara dan malah menggerogoti kehidupan demokrasi dan bernegara kita? Karena kalau kita melihat di negara kita ini justru malah sebaliknya, negara kita kebanyakan hanya bertindak sebagai konsumen saja tanpa ada usaha untuk menjadi produsen, sehingga mengakibatkan budaya konsumerisme di negara kita dan mengakibatkan negara ini tidak akan berkembang kalo di negara itu sudah ada yang namanya budaya konsumerisme dimana rakyat kita itu dipaksa untuk tidak mau kreatif, dan inovasi dalam menemukan hal-hal yang baru. Rakyat terus-terusan di suguhkan dengan barang-barang buatan luar.

Selain budaya konsumerisme, Mal yang menjadi pusat perbelanjaan pun menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya budaya konsumerisme dan terjadinya kerusakan di demokrasi di negara kita ini. Mal menjadi wadah bagi investor asing untuk menanamkan modal disana, dan memasukan barang-barang dari luar yang menarik untuk dijual dan dipakai oleh rakyat kita sendiri, sehingga rakyat kita itu terlena akan barang-barang dari luar dan melupakan barang-barang asli produk kita sendiri walaupun kualitas beberapa barang produksi negara kita itu kalah dengan barang-barang dari luar. Tapi, bukan berati jika produk dari luar itu lebih bagus kualitasnya daripada negara kita sendiri rakyatnya menjadi terlena akan produk orang lain, harusnya itu bisa dijadikan motivasi bagi negara kita untuk bisa lebih maju lagi dari negara-negara lain, bukan hanya diam dan menciptakan budaya konsumerisme di negara kita. Kalo misalnya sampai seperti itu berati kita lupa akan identitas dari suatu negara tersebut yaitu negara sebagai wadah untuk menciptakan rakyatnya yang kreatif, inovatif, dan mandiri bukan sebagai wadah yang menghasilkan rakyat yang manja. Mal dan juga budaya konsumerisme juga akan menghancurkan tatanan kehidupan demokrasi kita karena adanya diskriminasi dalam hal ini.

Mal dan Budaya Konsumerisme

Mal dan Budaya Konsumerime merupakan dua hal yang tak bisa di pisahkan, karena satu dengan lainnya terdapat koherensi. Dimana Budaya konsumerisme itu bisa timbul karena Mal juga. Pemerintahan di negara kita yang ingin mengembangkan perekonomiannya yaitu salah satunya dengan cara membangun pusat perbelanjaan dan mengundang investor asing untuk menginvestasikan modalnya di negara kita. Namun, malah sebaliknya pembangunan pusat perbelanjaan dan mendatangkan investor asing ke negara kita justru malah membuat negara kita kehilangan identitasnya sebagai orang tua bagi warga negaranya dimana negara itu harus bersikap adil terhadap rakyat nya dan tidak boleh sampai mementingkan salah satu pihak aja dan mengabaikan pihak yang lain yang termasuk dalam warga negaranya. Pemabangunan Mal yang bertujuan sebagai salah faktor memajukan ekonomi negara justru malah berdampak buruk bagi rakyat nya sendiri, contohnya dalam hal tempat pembangunan mal itu sendiri. Kadang-kadang orang yang ingin membangun mal tersebut itu tidak memikirkan kenyamanan bagi beberapa pihak, kadang mereka menggusur tempat-tempat dimana banyak keluarga tinggal di tempat itu dan mereka juga udah lama tinggal disana walaupun mereka orang awam yang tidak tahu menahu masalah hak kepemilikan tempat tersebut dan suka menjadi sasaran orang yang ingin membangun suatu waralaba pribadi dengan menipu dan menindas orang-orang jelata tanpa memikirkan nasib rakyat jelata jikalau pembangunan itu jadi dilaksanakan. Hal yang seperti itulah yang menghilangkan identitas suatu negara dimana hanya satu pihak yang di untungkan dan merugikan pihak yang lain tidak adanya keadilan bagi semuanya. Rakyat jelata menjadi korban dalam hal seperti itu dan orang kaya yang menguasai permainannya.

Selain dari hal di atas kerugian dari di adakannya banyak pembangunan mal di negara kita ialah ketika pembangunan mal itu sudah merajalela maka secara otomatis akan menimbulkan persaingan ekonomi antar blok-blok antara satu mal dengan mal yang lainnya, juga akan menimbulkan kapitalisme dimana mereka akan bersaing bagaimana caranya mendapatkan materi yang berlimpah dan ini mengakibatkan perpecahan diantara sesama di negara sendiri dan bukan nya membantu negara dalam mengembangkan perekonomian justru malah sebaliknya membuat negara menjadi kacau akibat ulah dari persaingan tersebut dan ini berkebalikan dengan prinsip republikanisme yang dimana setiap orang itu bekerja sama dalam mendapatkan kebahagiaan bersama dan semua orang bekerja tanpa ada yang egois artinya tidak ada pekerjaan yang menguntungkan satu pihak saja, juga dalam republikanisme keikut sertaan masyarakat kita dalam peduli terhadap program yang dijalankan pemerintahan dalam mengembangkan perekonomiannya seperti mengelola mal ataupun yang bertindak sebagai pemegang sahamnya membuktikan adanya eksistensi dan esensi sebuah negara dalam menjalankan hal tersebut. Namun, pada kenyataannya di negara kita banyak sekali yang mengelola sebuah instansi itu merupakan dari orang luar bukannya dari kita, sehingga menyebabkan kita sebagai orang pribumi malah tersingkir dan menderita karena sempitnya lapangan pekerjaan. Contohnya seperti yang sekarang ini lagi populer yaitu itu K-Link dimana K-Link itu menyuguhkan kepada masyarakat kita tentang obat-obat kesehatan buatan luar, dan pemegang dari K-Link sendiri bukanlah orang kita melainkan orang luar dan kita sebagai pribumi hanya jadi budak kepada apa yang telah diperintahkan oleh pemimpin K-Link tersebut, dan inilah yang menyebabkan hilangnya identitas kewarganegaraan di negara kita, sebuah instansi yang merusak tatanan hidup kita dimana merekalah yang berkuasa di negara kita sendiri sedangkan sebagai tuan rumah malah jadi tertindas akibat datangnya investor dari luar yang menanam saham di negara kita, masyarakat kita harusnya menjadi kerangka kebersamaan dimana semua orang itu bekerja sama dalam membangun suatu negara yang baik bukannya menjadi beban pemerintah dimana rakyat nya itu mengandalkan pemerintah dan menunggu subsidi dari pemerintah itu artinya rakyat tergantung terhadap pemrintah. Sebagai negara harusnya bisa memberikan kenyamanan bagi setiap warga negaranya dan juga memberikan apa yang masyarakat butuhkan.

Dalam nilai-nilai republikanisme dan kosmopolitanisme bisa kita dapatkan bahwasanya suatu negara yang baik itu yaitu ketika setiap orang berani untuk mengorbankan kepentingan pribadinya untuk kepentingan umum atau publik, dan kenyataan yang ada sekarang dalam negara kita adalah bahwasanya pembangunan mal-mal ataupun pusat perbelanjaan menjadi salah satu penyebab perusak bagi sistem demokrasi di negara kita, karena kalo kita hubungkan dengan nilai-nilai republikanisme dan kosmopolitanisme, orang yang membangun pusat perbelanjaan itu hanya untuk kepentingan pribadi bukannya kepentingan umum bahkan sampai bisa merugikan pihak orang lain dengan merebut hak orang lain seperti hak tempat tinggal mereka yang dijadikan sebagai mal atau pusat perbelanjaan dan itu bertentangan dengan nilai-nilai yang berada dalam republikanisme dan kosmopolitanisme yang harusnya setiap orang itu berani untuk mengorbankan kepentingan pribadinya untuk kepentingan publik. Selain itu, hal tersebut juga mengakibatkan rusaknya sistem demokrasi yang ada di negara kita, pengambilan hak orang lain menjadi pemicu rusaknya demokrasi di negara kita dan juga terdapat diskriminasi antar golongan, kita tahu bahwa mal identik nya dengan barang-barang atau produk-produk yang berkualitas dan berharga mahal, jadi secara otomatis orang yang pergi ke mal hanyalah orang-orang yang kaya saja sedangkan rakyat jelata itu tidak bisa masuk ke mal itu, jadi seakan-akan mal itu hanya untuk kalangan orang kaya saja tidak untuk rakyat jelata. Dan juga itu bisa merusak atau menghilangkan identitas suatu negara, kita tahu bahwasanya konsep kosmopolitanisme yaitu kepemilikan bersama atas permukaan bumi ini berdasarkan prinsip-prinsip imperative universal jika kita hubungkan dengan kepemilikan orang yang mendirikan mal atau orang yang punya mal itu tidak sesuai dengan konsep kosmopolitanisme, sehingga hilanglah identitas sebuah negara. Tidak hanya itu, ketika mal-mal itu semakin merajalela ada dimana-dimana sampai-samapi mal itu masuk kampung ataupun sebuah desa, berati secara tidak langsung kampung itu maupun desa itu sudah kehilangan identitasnya sebagai kampung maupun desa yang dimana asalnya mereka hanyalah sebagai tempat yang serba sederhana, serba jaman dahulu suasananya sampai datangnya mal ke pelosok desa dan kampung menghilangak identitas mereka semua, dan juga itu ujung-ujungnya dengan sendirinya akan menghilangkan identitas suatu kewarganegaraan.

Mal merupakan cikal bakal kapitalisme, dan itu artinya yang mempunyai ekonomi kecil akan tersingkir dari permainan itu, juga akan adanya kecemburuan social dimata masyarakat. Kita tahu bahwa mal itu identiknya dengan orang-orang kaya saja yang berhak berbelanja disana sedangkan orang yang mempunyai ekonomi pas-pasan atau di bawah rata-rata tidak akan sanggup untuk berbelanja disana. Jika kita hubungkan antara mal dan kehidupan social, itu pasti akan terjadi perbedaan dan menimbulkan perpecahan di antara sesame. Itu dikarenakan adanya kecemburuan social dan juga ketidak adilan yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyatnya. Seharusnya Negara itu mem,berikan kesejahteraan bagi semua rakyatnya, dan pembangunan mal menjadi salah satu pemicu hilangnya prinsip republikanisme di Negara kita, karena pembangunan itu didsari untuk kepentingan pribadi bukannya kepentingan public.

“contestation alone is insufficient, even if it is all that is feasible in the absence of democratically organized institutions that offer opportunities for deliberation and participation. Without reasons-responsive institutions, citizens can only hope indirectly to influence decision by means of public strategic actions. Indeed, citizen sovereignty functions in part as a principle favoring the pluralism of democratic forms of life”[1].

Dalam kutipan diatas dijelaskan bahwasanya dalam demokrasi kedaulatan ada ditangan rakyat, jika ada suatu keputusan harus di pertimbangkan secara matang ( tidak langsung di tentang) demokrasi menawarkan kepada rakyat untuk merespon dan berpartisipasi dalam suatu kebijakan, juga rakyat hanya bias berharap secara tidak langsung untuk mempengaruhi keputusun dari suatu institusi pemerintah dengan aksi public. Jika kita hubungkan dengan kerugian dari satu pihak akibat dari pembangunan mal dimana-mana jelaslah itu bertentangan bahwasanya Negara demokrasi itu harus kembali kepada rakyat dan mengutamakan rakyat terlebih dahulu dengan kepentingan bersama.

BUDAYA KONSUMERISME

Budaya konsumerisme merupakan cikal bakal kapitalisme, karena kita tahu sendiri bahwasanya konsumerisme itu sudah menghancurkan rakyat dengan suguhan produk-produk dari luar. Dan ketika mereka sudah terpengaruh akan produk-produk dari luar dan mereka hanya sebatas konsumen saja, tentunya itu akan menjadi suatu kebudayaan yang jelek yang akan menghancurkan negara kita, dan juga menghilangkan identitas negara tersebut. Contohnya saja, negara kita yang setiap masanya di suguhi barang-barang terbaru dari luar yang sangat menarik mengalahkan produk hasil negara kita sendiri. Tentunya itu akan menghilangkan identitas suatu kenegaraan, jika misalnya baju batik hasil negara kita itu kalah dengan model-model baju yang dari barat, secara otomatis baju batik itu secara perlahan-lahan akan berkurang sampai akhirnya menghilang dari negara kita, yang asalnya batik itu adalah ciri khas negara kita, sekarang menjadi tidak lagi karena telah kalah sama produk dari luar, dan alhasil dari perbuatan itu masyarakat malah semakin terlena mengkonsumsi produk-produk bikinan luar.

Budaya konsumerisme jika kita hubungkan dengan kosmopolitanisme dan republikanisme memang terdapat suatu kontradiktif, kita tahu bahwa prinsip dari kosmopolitanisme dan republikanisme itu adalah dimana semua orang itu bekerja sama dalam membangun kesejahteraan manusia dan keadilan yang tidak berpihak kepada siapa pun. Sedangkan budaya konsumerisme ini tidak sesuai dengan prinsip itu, karena jika kita lihat bahwasanya budaya konsumerisme ini bukan untuk semua orang, tetapi budaya konsumerisme ini hanya untuk golongan tertentu saja, hanya orang tertentu saja yang bisa melakukannya, sedangkan golongan yang lain tidak bisa melakukannya dan hanya bisa melihat orang-orang itu asyik dengan belanjaannya. Alhasil, itu semua hanya akan mengakibatkan kecemburuan sosial semata. Termasuk, pemerintah yang tidak mengerti akan apa yang diinginkan oleh rakyatnya, dan jika pemerintah itu sudah tidak bisa lagi memberikan apa yang seharusnya mereka berikan kepada rakyatnya berupa kesejahteraan, keadilan, dan kenyamanan dalam suatu negara maka nilai-nilai demokrasi yang ada itu sudah tidak bisa dipakai lagi, karena kita mengetahui bahwasanya suatu negara domokrasi adalah negara yang mengabdikan semuanya bagi rakyat, baik itu keinginannya, hak-haknya, kesejahteraan, dan juga keadilan yang harusnya mereka dapatkan menjadi tidak mendapatkan apa-apa dari akibat budaya konsumerisme tersebut.

Pasar bebas yang telah dibuka oleh negara kita menjadi salah satu pemantik makin menyalanya budaya konsumerisme, dengan adanya pasar bebas ini lah orang-orang khususnya warganegara kita akan semakin merajalela mengkonsumsi terhadap barang-barang dari luar tersebut, dengan di fasilitasinya banyak mal di negara kita maka sebakin banyak pula investor asing yang datang kepada kita untuk menanam modal di negara kita, walaupun kedatangan investor asing itu merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi negara kita karena akan membantu kenaikan perekonomian negara. Namun, kerugiannya yang diterimanya pun lebih besar lagi, kecemburuan sosial, dan ketidak adilan sosial membuat negara demokrasi seperti kita ini menjadi hancur kehilangan nilai-nilai demokrasinya dan juga kehilangan identitasnya sebagai negara. Namun, tidak semua kebijakan atau aksi yang dilakukan pemerintah itu semuanya tidak bagus terutama dalam masalah ini yang berkaitan dengan hal-hal yang berbau dengan produsen dan konsumen, dalam model demokrasi kosmopolitan di sebutkan bahwasanya

“prinsip-prinsip yang menentukan menyangkut keadilan sosial adalah sebagai berikut: produksi, distribusi, dan eksploitasi sumber-sumber harus kondusif bagi, dan sesuai dengan, proses demokratis dan struktur tindakan politik bersama”[2].

Dari kutipan di atas jika kita hubungkan dengan mal dan budaya konsumerisme tentunya tidak terdapat keadilan sosial, baik itu produksinya, distribusinya, maupun eksploitasinya tidak sesuai dengan proses demokratisnya dan juga struktur tindakan politik bersama, pembangunan mal misalnya yang hanya menguntungkan satu pihak saja, bahkan sampai tempat berdirinya mal merebut hak orang lain khususnya rakyat jelata dan juga pembangunan mal ini bukan struktur tindakan politik bersama, termasuk juga budaya konsumerisme yang hanya menimbulkan kecemburuan sosial di antara sesama, dan juga merusak tatanan sistem demokrasi di negara kita, dan juga sampai menghilangkan identitas suatu negara.

Budaya konsumerisme memang akan menjadikan perpindahan yang asalanya negara demokrasi menjadi negara yang kapitalis, dimana ketika negara itu sudah menjadi kapitalis maka setiap orang nya akan bersaing dengan sesama untuk memenuhi keinginan pribadinya dengan mengesampingkan orang lain, dan tanpa memikirkan rakyat jelata di bawahnya dengan cara mengambil hak-hak mereka, dan secara perlahan demokrasi yang ada di negara kita akan lenyap dengan sendirinya. Sebagai pemerintah harusnya bisa melihat kedepannya akibat jika konsumerisme itu sudah menjadi kebudayaan, dan pemerintah pun bisa mencegahnya dari awal-awal agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Rakyat jelata yang menjadi korban hanya bisa berharap pada kebijakan pemerintah terhadap suatu kasus, dan disini pemerintah haruslah tahu tentang apa yang dibutuhkan oleh rakyat, karena kita ini merupakan negara yang demokratis dimana pemerintah itu dipilih oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat.

Kesimpulan

Setelah kita melihat semua penjelasan di atas, bisa saya simpulkan bahwasanya mal dan budaya konsumerisme itu merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi satu sama lainnya. Pembangunan mal dimana-mana akan memeberikan kesempatan bagi barang-barang yang dari luar, sehingga setelah itu terjadi semua, maka warganegara kita akan bertindak sebagai konsumennya dan tidak akan menutup kemungkinan itu akan menjadi sebuah budaya konsumerisme. Banyaknya mal-mal yang didirikan mengakibatkan kerugian bagi beberapa pihak, baik itu dari mulai dimana mal itu didirikan sampai mal itu bisa menggeser pasar-pasar tradisional, sehingga orang-orang itu akan melupakan pasar tradisional dan beralih kepada mal-mal yang ada. Juga mal lebih condong atau menerima dan melayani hanya sedikit orang saja, artinya adanya sedikit diskriminasi dalam hal ini. Orang-orang akan menjadi budak bagi adanya mal-mal yang berada disekitarnya, mereka akan membeli semua kebutuhan yang mereka butuhkan, ketika ada barang yang barupun mereka akan beralih dan mencari barang yang baru tersebut, dan tentu saja itu akan melupakan cara hidup yang lama mereka dan beralih menjadi konsumerisme, artinya adanya sesuatu ciri khas yang hilang dalam negara itu, sehingga menghilangkan pula identitasnya sebagai negara, demokrasi yang dipakai negara kita menjadi terkubur karena tindakan-tindakan seperti itu.

Sama halnya dengan pembangunan mal, budaya konsumerisme juga mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi negara, hilangnya identitas sebuah negara dan rusaknya tatanan demokrasi di negara kita merupakan akibat dari budaya konsumerisme di negara kita. Orang-orang yang sudah termakan dengan suguhan dari produk-produk luar memaksa mereka untuk terus menjadikan itu semua sebagai kebutuhan mereka, dan itu akan mengakibatkan rasa egoisme yang tinggi terhadap diri seseorang, mereka akan bersaing bagaimana untuk mendapatkan barang tersebut, dan juga produk hasil olahan kita yang menjadi ciri khas dari negara kita itu sedikit demi sedikit akan tergantikan posisinya oleh barang-barang yang dari luar, dan tentu saja bisa sampai menghilangkan produk yang menjadi ciri khas negara kita tersebut, seperti batik, angklung, dan yang lainnya. Itu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan hilangnya identitas suatu negara. Ketidak adilan dan kecemburuan sosial juga menjadi hasil dari budaya konsumerisme tersebut, karena tidak semua orang yang bisa berbelanja di mal-mal, karena mal itu hanya menerima dan melayani orang-orang yang punya ekonomi golongan tengah ke atas. Sehingga orang-orang akan meresa dibedakan, dan itu bertolak belakang dengan sistem yang dipakai oleh negara kita yakni negara demokrasi, dan kalau seperti itu kejadiannya maka sistem yang sudah di negara kita ini yaitu demokrasi akan hilang dan negara kita tidak bisa disebut lagi sebagai negara demokrasi.

DAFTAR PUSTAKA

Held, David. 2004. Demokrasi dan Tatanan Global. Yogyakarta: PUSTAKA BELAJAR

Farelly Colin (edt). 2004. Contemporary Political Theory. London: Sage Publications



[1] Contemporary political theory hal. 176-177

[2] Demokrasi dan tatanan Global hal. 342

Kamis, 24 Maret 2011

Konsepsi Hukum sebuah negara

Konsep Negara Hukum

Jika kita melihat keadaan pada masa aristoteles bagaiamana orang pada masa itu menjalankan suatu pemerintahan, dan menjalankan suatu negara dimana mereka dalam menjalankannya membuat suatu aturan buat semuanya, ada yang berupa larangan dan perintah, dan orang yang melanggar aturan tersebut akan dihukum. Jadi kita bisa tahu bahwa konsep negara hukum pada masa Aristoteles ialah negara yang berdasarkan atas hukum yang menjamin keadilan bagi warga negaranya. seperti yang sudah disebutkan dalam pendahuluan bahwasanya keadilan merupakan syarat agar bisa memberikan kebahagiaan hidup bagi setiap individu dalam negara. Pengertian adil sendiri menurut Aristoteles dalam bukunya “Nichomachean ethics” adil adalah apa yang mengikuti aturan[1]. Jadi bisa kita simpulkan bahwa yang namanya individu itu bisa mendapatkan kebahagiaan hidupnya jika si individu itu patuh dan taat terhadap aturan-aturan yang telah dibuat oleh suatu negara, negara pasti memberikan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi, itu artinya siapapun yang menjalankan aturan-aturan negara dengan baik maka dialah yang akan mendapat kebahagiaan hidup.

Hukum yang harus ditegakkan adalah hukum yang adil dan dapat memberikan kesejahteraan bagi setia warga negaranya, Hukum yang bukan merupakan suatu paksaan dari seorang penguasa melainkan sesuai dengan kehendak warga negaranya sendiri. Makna keadilan disini adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, yakni hukum yang ada di suatu negara harus berlaku bagi siapa saja tanpa mengenal perbedaan. Orang yang melakukan kesalahan mesti dihukum tak peduli yang melakukan kesalahan itu dari golongan kaya maupun miskin atau golongan manapun, pokoknya hukum berlaku bagi siapa saja. Dan untuk mengatur hukum diiperlukan konstitusi yang memuat aturan-aturan kehidupan berkeluarga. Aristoteles membagi konstitusi (sistem politik) itu dalam beberapa bagian, ada yang dianggap baik dan ada pula yang dianggap buruk, pembahasan ini akan di jelaskan dalam pembahasan selanjutnya dalam pembagian sistem politik.

Negara merupakan komunitas tertinggi dan bertujuan mencapai kebaikan tertinggi. seiring berjalannya waktu, pertama-tama muncullah keluarga, bentuk komunitas ini dibangun berdasarkan dua relasi dasar antara laki-laki dan perempuan, tuan dan budak, yang keduanya bersifat alamiah. kemudian sejumlah keluarga bergabung melahirkan sebuah desa, beberapa desa melahirkan sebuah negara, asalkan gabungan itu cukup besar untuk berswasembada[2]. Ketika Negara sudah terbentuk, secara otomatis dalam suatu negara itu tidak semua orang sama artinya ada perbedaan antara individu satu dengan individu lainnya baik itu dari segi materiil nya maupun fisiknya sehingga dalam suatu negara pasti ada perpecahan, dan disinilah negara harus berperan aktif untuk mengembalikan hak-hak yang dipunyai oleh setiap individu tanpa adanya diskriminasi dalam hal apa pun baik itu dari ras, warna kulit, materii, dan yang lainnya yang bisa menimbulkan perpecahan dalam suatu negara. Dan oleh karena itulah negara harus mempunyai suatu aturan ataupun hukum, Karena tanpa adanya hukum maka manusia adalah binatang paling ganas, dalam aritian manusia bebas melakukan apapun yang mereka sukai tanpa adanya yang melarang dari pihak manapun dan tidak adanya hukum akan menimbulkan hukum rimba dimana yang kuatlah yang akan bertahan dan yang lemah lah yang akan tersisih dari negara tersebut, yang kaya semakin kaya dan miskin semakin menderita. Sementara hukum tergantung pada negara. Negara bukanlah masyarakat yang tujuannya sekedar pertukaran dan mencegah kejahatan. Tujuan Negara adalah kehidupan yang baik. negara adalah persatuan keluarga-keluarga dan desa-desa dalam kehidupan yang berbahagia dan terhormat[3].

Kekacauan yang terjadi pada masa Aristoteles membuat dirinya berfikir untuk menyelesaikan semua masalah yang terjadi di sekitarnya. diperlukannya suatu sistem yang bisa mengembalikan hak setiap orang, dia meneliti keadaan disekelilingnya untuk menemukan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh semua orang. Sampai pada akhirnya Aristoteles menemukan solusi untuk mengatasi masalah yang terjadi di sekitarnya, yakni dengan membuat aturan hukum yang tepat dan dapat diterima bagi semuanya, dan aturan itu disebut dengan konstitusi. Aristoteles mempunyai pandangan terhadap konstitusi ini bahwasanya itu merupakan jalan yang terbaik untuk mengatasi semua masalah yang terjadi dalam suatu negara. Namun, kalau misalnya kita analisa terhadap yang namanya konstitusi tersebut bahwasanya konstitusi merupakan solusi bagi suatu permasalahan atau tidak, kita bisa melihatnya ketika konstitusi itu diterapkan terhadap suatu negara dan faktanya masih banyak ketidak adilan yang terjadi pada negara itu, tapi bukan berarti konstitusi (aturan hukum) ini bukan dari salah satu solusi untuk menyelesaian permasalahan ternyata ada sedikit kesalahan dalam menjalankan konstitusi tersebut, jadi bukanlah konstiusi yang tidak bisa jadi solusi, namun siapakan orang yang mengatur dari konstitusi tersebut, dari penjelasan itu kita bisa membagi konstitusi kedalam dua bagian. yaitu ada konstitusi yang baik dan konstitusi yang buruk, dimana konstitusi yang baik adalah konstiusi yang ditujukan untuk kepentingan bersama, sedangkan konstitusi yang buruk adalah konstitusi yang khusus diperuntukkan bagi orang-orang tertentu saja atau golongan-golongan tertentu yang sering kita sebut sebagai kepentingan sepihak.

Pembagian Sistem Politik

Aristoteles berpendapat bahwasanya suatu negara boleh disebut baik, jika diarahkan pada kepentingan umum, yakni kepentingan setiap individu. sedang negara yang diarahkan pada kepentingan penguasa harus disebut buruk. Ada tiga macam pemerintahan yang baik yakni Monarki, Aristokrasi, dan Politeia atau Republik, dan ada juga pemerintahan yang buruk yang berkebalikan dengan yang di atas yaitu Tirani, Oligarki, dan Demokrasi[4]. Inilah yang merupakan inti dari semuanya, disini penulis akan mencoba untuk menganalisa satu persatu sistem yang telah disebutkan Aristoteles tersebut dan melihat hubungan antara individu dan negara tersebut, apakah negara itu bisa berlaku adil terhadap warga negaranya atau tidak? juga penulis berusaha untuk memberikan kesimpulan terhadap semuanya, manakah sistem yang terbaik diantara itu semua, yang bisa menjadikan suatu negara itu baik.

1. Monarki

Dalam Kamus Ilmiah Populer, bahsawanya Monarki merupakan pemerintahan oleh raja. jadi kita bisa menyebutkan bahwa Monarki adalah suatu negara dimana yang memimpin negara itu merupakan seorang raja, dan Monarki itu hanya sah apabila rajanya adalah orang yang keunggulannya melebihi semua orang sehingga patut dicontoh kebijaksanaannya, jika sudah mendapatkan orang dicari dan orang itu memenuhi semua persyaratan untuk menjadi seorang raja maka negara itu bisa dikatakan baik dan dikatakan sebagai negara yang berhasil mengatasi semua permasalahan yang dalam negara tersebut. Namun sayangnya, Monarki ini susah dijadikan sebagai sistem yang terbaik bagi suatu negara karena pada kenyataannya kita sulit mencari orang yang seperti demikian, sehingga Monarki ini mudah jatuh ke dalam Tirani[5].

Melihat penjelasan di atas mengenai Monarki tersebut, penulis berpendapat bahwasanya sistem Monarki ini tidak cocok digunakan bagi negara yang sekarang maupun yang dulu seperti halnya keadaan pada saat di masa Aristoteles, walaupun ada negara yang menggunakan sistem Monarki ini maka akan sulit sekali untuk mendapatkan orang yang akan bertindak sebagai raja dan mempin negaranya, dan juga raja nya itu bisa saja ada unsur kepentingan sepihak yang dilakukan oleh raja tersebut.

2. Oligarki

Oligarki adalah suatu pemerintahan yang dipegang, oleh beberapa orang dari golongan elite (bangsawan atau kapitalis)[6]. Dari penjelasan itu kita bisa menafsirkan bahwa adanya suatu ketidak adilan dalam sistem ini, dimana orang yang menduduki pemerintahan hanyalah dari pihak kaum-kaum elite sedangkan rakyat jelata yang sering kita sebut sebagai orang-orang miskin atau dari golongan bawah hanya menjadi penonton bagi orang-orang elite yang sedang menjalankan suatu pemerintahannya tanpa memperhatikan orang-orang dari pihak golongan bawah, dan itu sangat jelas sekali bahwa sistem ini hanya menguntungkan sepihak saja dan tidak bisa dijadikan sebagai sistem negara yang baik.

pandangan penulis terhadap sistem Oligarki ini tentunya sangat tidak setuju dengan adanya Oligarki ini, karena orang-orang elite belum tentu bisa mengatur suatu pemerintahan dengan baik, bisa saja orang yang dari golongan bawah lebih ahli dalam mengurus suatu pemerintahan namun karena sistem Oligarki ini merupakan sistem dimana orang kaya lah yang berhaka untuk menduduki pemerintahan, maka tidak kesempatan bagi orang-orang miskin atau rakyat jelata untuk menduduki jabatan penting dalam suatu pemerintahan meskipun ada rakyat jelata yang lebih ahli dan pintar dibanding golongan elite dalam masalah mengurus pemerintahan sehingga ada yang namanya pembatasan hak bagi setiap orang untuk mengendalikan suatu pemerintahan. Disamping itu, sistem Oligarki juga bisa disebut sebagai sistem egois, dimana hanya kaum tertentulah yang bisa mendapatkan suatu kehormatan di suatu negara, dan ketika orang-orang elite menjalankan suatu pemerintahan maka orang-orang itu hanya akan melihati dari golongannya saja tanpa melihat golongan lain, dan ini bertentangan dengan konsep negara yang mengatakan bahwa negara itu merupakan wadah yang memberikan keadilan bagi setiap orang untuk mencapai kebahagiaan hidup dan juga bertentangan dengan pengertian bahawa negara itu merupakan dibuat untuk kepentingan bersama bukan kepentingan sepihak.

3. Aristokrasi

Aristokrasi dianggap lebih baik dai Monarki, dimana pemerintah dipercayakan kepada segelintir orang yang mutlak dianggap paling baik[7], namun Aristokrasi ini juga mempunyai kelemahan dalam menjalankan suatu negara terutama orang yang menjalankan pemerintahan negara tersebut, bahwasanya dalam sistem Aristokrasi ini orang yang berhak menjabat suatu pemerintahan adalah dari kaum bangsawan, jadi kalo misalnya kita bandingkan dengan sistem Oligarki memang ada kemiripan, bahwasanya Aristokrasi dan Oligarki ini mengangkat kaum bangasawan sebagai orang yang berhak untuk menduduki suatu pemerintahan dan tidak memberikan kesempatan sekalipun kepada rakyta jelata lainnya meskipun ada orang dari pihak orang miskin ini yang mampu untuk mempertahankan suatu negara dengan mengatur pemerintahan yang ada.

Sistem Aristokrasi ini jika kita lihat hubungannya antara individu dan negaranya memang ada banyak ketidak seimbangan antara keduanya, dimana satu pihak yakni dari golongan bangsawan yang bisa jadi mengatur sebuah pemerintahan dalam suatu negara, sedangkan rakyat jelata hanya bisa menjalankan aktifitasnya sebagai rakyat yang tertindas, dan disini juga ada yang namanya pembatasan hak pada setiap orang khususnya pada rakyat jelata untuk menduduki atau campur tangan dalam suatu pemerintahan dalam suatu negara. Selanjutnya, akan timbulnya egoism, diskriminasi, terutama dalam masalah materi. ada si miskin dan si kaya, dan si kaya ketika menjalankan suatu pemerintahan bakal hanya mementingkan golongannya sendiri tanpa mementingkan golongan orang lain alias si miskin tadi. Kebijakan-kebijakan yang dibuat pun pasti hanya untuk kepentingan sepihak saja.

4. Tirani

Tirani merupakan salah satu sistem yang disebut buruk bagi suatu negara. Tirani adalah penguasa yang memerintah dengan lalim dan sewenang-wenang[8]. Sangat jelas sekali bahwsanya ini merupakan sistem yang sangat buruk dan tidak cocok bagi suatu negara. pantas saja Aristoteles berpendapat kalo sistem Tirani ini merupakan sistem yang buruk. penulis juga sependapat dengan Aristoteles bahwa negara yang menggunakan sistem Tirani akan hancur dan tidak akan berkembang. Tirani ini merupakan suatu sistem yang tidak ideal bagi suatu negara, sistem yang bukan bikin negara maju maupun berkembang tetapi sistem yang membuat negara itu hancur karena pemerintah itu diatur oleh penguasa yang lalim, yang melakukan sesuatu dengan sewenanga-wenang tanpa pandang bulu.

Sistem ini memang tidak bisa menjadi solusi terbaik bagi suatu negara, karena sistem ini akan menyebabkan perbudakan dimana kaum yang lemah menjadi kaum yang tertindas, dan sistem ini hanya mengambil keputusan sepihak saja tanpa memperhatikan yang lainnya. Selanjutnya, Tirani mirip dengan orang-orang barbar seperti dulu, dimana orang-orang barbar merupakan komunitas yang dikecam jelek dan bodoh, dalam artian orang-orang ini dalam mengatur pemerintahan suka menggunakan jalan kekerasan dalam setiap persoalan yang ada, maka jelaslah Tirani pun tidak jauh beda dengan orang-orang barbar, dimana para penguasa yang lalim itu mengatur suatu pemerintahan dalam suatu negara. Disamping itu jika Tirani ini sampai dijadikan sistem untuk mengatur suatu negara maka kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh penguasanya ialah hanya untuk kepentingan sepihak dan kebijakan itu atau keputusan tersebut tidak bisa diganggu gugat. para penguasa bebas melakukan sesukanya, apa yang dia senangi tanpa ada yang melarang satu orang pun, walaupun itu hanya menguntungkan bagi satu pihak dan merugikan banyak pihak. Sistem ini harus dihapuskan dan tidak boleh ada lagi negara yang memakai sistem Tirani ini jika negara itu tidak ingin negaranya hancur.

5. Demokrasi

Demokrasi, kata Aristoteles, lahir dari keyakinan bahwa manusia yang sama-sama bebas mestinya juga sama dalam semua segi[9]. dari pemaparan tersebut kita bisa mengetahui bahwa setiap individu bebas melakukan apa yang menjadi hak mereka termasuk dalam menjalankan suatu pemerintahan, Setiap orang tidak dibeda-bedakan baik itu dilihat dari segi manapun, baik itu orang kaya ataupun miskin, orang pinter maupun orang bodoh, dll. Dalam sistem ini semuanya sama tak ada sedikitpun perbedaan. Jadi inti dari Demokrasi ini adalah persamaan (egaliterinism), tapi walaupun sistem ini merupakan yang dianggap baik daripada sistem sistem sebelumnya, bahwasanya Demokrasi ini akan memberikan kebebasan pada setiap orang untuk terjun langsung kedalam keputusan suatu pemerintahan dan mereka juga dapat secara bergiliran meduduki jabatan atau kekuasaan yang harus dipertanggung jawabkan pada warga negaranya, Demokrasi ini pula mempunyai kelemahan sehingga Aristoteles sedikit tidak setuju terhadap Demokrasi ini, karena pada masai itu bentuk dan rakyatnya pada suatu negara berbeda dengan zaman sekarang maka ada kesalahan terhadap pengertian dari demos tersebut, dan pada waktu itu mayoritas orang-orangnya adalah rakyat jelata para budak maka yang berkuasa dan memegang suatu pemerintahan itu adalah dari rakyat jelata sendiri yang berada di pihak mayoritas sedangkan pihak minoritas kalah dengannya. Karena itulah Aristoteles kurang setuju terhadap Demokrasi ini, ketidakmungkinan orang banyak memerintah terhadap yang kecil jumlahnya.

Penulis juga kurang setuju terhadap Demokrasi pada masa itu, dimana kesamaan derajat bagi setiap orang adalah sama. Artinya, jika semua orang itu sama dalam semua segi, tanpa ada yang bisa dijadikan sebagai pembeda dari tiap orang, itu artinya kualitas tiap orang itu sama, meskipun dilihat dari segi manapun, baik itu dari segi materi, kompetensi, intelegensi, dll. Ini akan berdampak ketika ada orang dari pihak minoritas yang benar-benar yang mempunyai kualitas bagus, baik itu dari segi Intelektualnya dalam hal apa pun dan segi kompetennya harus kalah dari pihak mayoritas atau dari pihak rakyat jelata sendiri. mungkin itu yang menjadi permasalah Demokrasi pada saat itu. Artinya Demokrasi ini kurang cocok diterapkan pada saat itu.

6. Politeia atau Republik

Politeia atau Republik ini merupakan sistem yang dianggap paling baik bagi suatu negara terutama keadaan pada waktu masa Aristoteles, dan untuk menyelesaikan semua permasalah dan kekurangan akan sistem-sistem sebelumnya, dan begitupula menurut Aristoteles Politeia dipandang sebagai bentuk negara paling baik dalam politik. Dengan istilah “Politeia” Aristoteles memaksudkan Demokrasi moderat, Demokrasi dengan undang-undang dasar. Para warga negara dari “Politeia” ini menunjuk pada “kelas menengah” yang kuat untuk dapat menjamin kelangsungan pemerintahan dan keseimbangan antara golongan sangat kaya dan golongan amat miskin[10]. Politeia ini lah yang menjadi jalan tengah bagi semuanya, yang menjadi jembatan bagi semuanya untuk bersatu menjalankan pemerintahan secara adil dan untuk kepentingan bersama, dimana individu dan negara saling mengisi dan saling mendukung demi tercapai nya suatu keadilan dalam mencapai kebahagiaan hidup bagi semuanya.

Penjelasan diatas bisa kita analisa bahwsanya Politeia ini merupakan suatu sistem dimana isinya ini merupakan campuran dari sistem-sistem lain, yaitu antara Oligarki dan Demokrasi ataupun Aristokrasi dan Demokrasi, dan ini merupakan jalan yang tengah yang terbaik dan solusi terbaik bagi suatu negara. Karena menurut penulis sistem ini merupakan sistem yang ideal dimana ada percampuran dua sistem yang asal berlawanan yakni antara golongan elite dan rakyat jelata menjadi sebuah kesatuan untuk membangun suatu negara yang baik, dan untuk kepentingan bersama, dimana tidak ada lagi yang namanya diskriminasi antar golongan. Setiap orang mendapatkan hak nya masing masing, setiap orang dapat mendapatkan perlindungan, dan siapapun bisa menjabat sebagai pemegang atau pengatur dari sebuah pemerintahan dengan syarat adanya kompetisi untuk mendapatkan kekuasan tersebut, kompetisi yang penulis maksud yaitu kompetisi secara sehat, dengan adanya kualifikasi bagi orang yang ingin menjabat di dalam suatu pemerintahan yang dilihat dari intelijensinya atau seberapa kompeten orang itu dalam suatu hal.

Kesimpulan

Setelah melihat semua penjelasan di atas, mengenai sistem-sistem yang ada pada masa Aristoteles, dan bagaimana hubungan antara individu itu dengan negara nya jika memakai salah satu sistem tersebut. Disini penulis memberikan kesimpulan tentang sistem yang cocok atau yang layak bagi suatu negara untuk menjadikan suatu negara itu negara yang baik tanpa ada nya kekacauan di antara setiap warga negara dan tidak ada lagi diskriminasi dalam melihat setiap orang, kemudian tidak ada juga penguasa yang lalim yang berbuat sewenang-wenang sehingga mengakibatkan perbudakan merajalela, juga tidak ada penguasa yang membuat suatu keputusan publik dimana keputusan itu hanya mementingkan kepentingan satu pihak yang harusnya untuk kepentingan umum. Maka, Politeia lah yang ideal untuk suatu negara, dimana Politeia ini merupakan suatu sistem menengah, artinya ini merupakan jalan tengah bagi sistem sistem yang lain, dan merupakan sebuah jembatan bagi si miskin dan si kaya untuk bersatu dalam mengurus pemerintaha, dan untuk mencapai negara yang baik dan tercapainya keadilan untuk memberikan kebahagian hidup bagi setiap orang dan untuk kepentingan bersama juga

DAFTAR PUSTAKA

Ravitc,Diane dan Abigail. Hernoyo (penj.). 2005. Demokrasi Klasik dan Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Aristoteles. Embun Kenyowati (penj.). 2004. Nichomachean Ethics. Jakarta: Teraju.

Pius dan Dahlan. Kamus ilmiah Populer. Surabaya: ARKOLA

Russell, Bertrand. 2007. Sejarah Filsafat Politik Barat. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.



[1] Nichomachean ethics hal. 112

[2] Sejarah Filsafat Politik Barat hal. 251-252

[3] Ibid hal. 252

[4] Demokrasi Klasik dan Modern hal. 12

[5] Ibid hal 12

[6] Kamus Ilmiah Populer hal 433.

[7] Demokrasi Klasik dan Modern. hal 12

[8] Kamus Ilmiah popular hal. 595

[9] Sejarah Filsafat Politik Barat hal. 258

[10] Demokrasi Klasik dan Modern hal. 12

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites